Abdullah bin Mubarak dan Seorang Budak yang Shaleh
Ini adalah sebuah kisah tentang seorang budak yang shaleh
dan Abdullah bin Mubarak ketika beliau berada di Mekkah. Abdullah bin Mubarak
menceritakan, “Suatu ketika aku berada di Mekkah, dan saat itu kami dilanda
kemarau yang panjang. Hujan tidak turun selama berminggu-minggu dan semua orang
berkumpul di Masjidil Haram untuk shalat istisqa (shalat meminta hujan). Aku
salah satu di antara mereka dan aku duduk di samping gerbang Banu Saiba.
Seorang budak Ethiopia yang mengenakan pakaian lusuh datang dan duduk di
depanku. Aku bisa mendengarnya berdo’a, “Ya Allah, amal buruk dan dosa-dosa
telah menodai wajah-wajah dan Engkau telah berhenti menghujani kami dengan
rahmat-Mu untuk memberi pelajaran kepada umat manusia. Aku memohon kepadamu ya
Halim, ya Rahim, wahai Engkau yang diketahui manusia sebagai Maha Penyayang.
Kirimkanlah hujan kepada kami saat ini juga.” Dia berdo’a sampai awan muncul
dan hujan turun.
![]() |
Abdullah bin Mubarak dan Seorang Budak yang Shaleh |
Ketika dia pergi, aku mengikutinya untuk mencari tahu
keberadaannya. Karena tidak menemukannya, aku pun pulang ke rumah. Sebelum
pulang ke rumah aku pergi untuk mengunjungi Fudail bin Ayaz. Aku menceritakan
kejadian ini padanya, kemudian dia memaksaku untuk membawanya menemui pemuda
Ethiopia itu. “Sekarang sudah terlambat, biarkan aku mencarinya dahulu”, kataku
padanya.
Setelah Subuh, aku pergi ke tempat para budak itu dan
melihat seorang kakek sedang duduk-duduk di depan pintu rumahnya. Dia ternyata
mengenaliku. Dia menyambutku dan menanyai tentang keperluanku. “Aku butuh
seorang budak hitam”, kataku. Dia menjawab, “Aku punya banyak, ambillah siapa
saja yang kau mau.” Dia terus memanggil budak-budaknya satu demi satu dan aku
terus menolak sampai akhirnya dia memanggil seseorang yang aku cari. Dia
kemudian menolak untuk menjual budak ini karena keberadaan budak ini membawa
banyak berkah. Kemudian aku berkata, “Haruskah aku kembali kepada Sufyan
At-Tsauri dan Fudail bin Ayaz dengan tangan hampa?” Dia akhirnya setuju dan
berkata, “Kedatanganmu adalah suatu hal yang besar. Bayarlah sesuai harga yang
kau sukai dan bawalah dia.” Aku membeli budak itu, dan membawanya menuju rumah
Fudail.
Ketika dalam perjalanan dia bertanya, “Kenapa kau tidak
membeli seorang budak yang lebih kuat dariku? Aku lemah dan tidak bisa
melayanimu. Tuanku telah menunjukkanmu banyak budak yang lebih kuat.” Aku
berkata, “Demi Allah, aku akan melayanimu, membelikanmu sebuah rumah, dan
mencarikanmu pasangan untuk dinikahi.” Dia mulai menangis. Aku bertanya, “Apa
yang membuatmu menangis?” Dia berkata, “Satu-satunya alasan kau memperlakukanku
seperti ini adalah karena kau telah melihat hubunganku dengan Tuhanku.”
Dia kemudian bertanya apakah aku bisa menunggunya karena dia
ingin shalat beberapa raka’at yang masih harus diselesaikannya sejak semalam.
Aku memberitahunya bahwa rumah Fudail dekat dari sini, tapi dia bersikeras,
“Tidak baik untuk menunda ibadah kepada Allah.” Lalu dia pun memasuki masjid
dan mulai shalat. Ketika selesai dia bertanya padaku, “Wahai Abu Abdur Rahman,
apakah kau punya suatu keperluan?” Aku berkata, “Kenapa kau bertanya?” Dia
menjawab, “Untuk akhirat.” Dia kemudian berkata, kehidupan terlihat baik ketika
ini menjadi rahasia antara Tuhanku dan aku. Sekarang kau telah mengetahui lalu
orang lain akan tahu. Sekarang aku tidak lagi memerlukan kehidupan ini.” Dia
pun terjatuh dan berkata, “Ya Allah bawa aku sekarang.” Aku mendekatinya dan
kutemukan tubuhnya tak lagi bergerak. Ternyata dia telah meninggal dunia.